ILMU BUDAYA DASAR
NAMA :ABDUL KARIM
NPM :10512018
KELAS :1 PA 02
FAKULTAS
PSIKOLOGI
1.A
PERKAWINAN ADAT BUGIS BONE
A.PENDAHULUAN
Masyarakat kabupaten
Bone, sebagaimana masyarakat lainnya di Propinsi Sulawesi Selatan
umumnya,merupakan pemeluk islam yang taat,kehidupan mereka selalu diwarnai oleh
keadaan yang serba religius. Kondisi ini ditunjukan oleh banyaknya
tempat-trempat ibadah dan tempat Pendidikan Agama Islam. Sekalipun penduduk
kabupaten Bone mayoritas memeluk agama Islam,namun dikota Watampone juga ada gereja
dan beberapa tempat ibadah pemeluk agama lainnya.
Seiring dengan
perkembangan zaman, sentuhan tekhnologi modern telah mempengaruhi dan menyentuh
masyarakat Bugis Bone, namun kebiasaan-kebiasaan yang merupakan tradisi turun
menurun bahkan yang telah menjadi Adat masih sukar untuk dihilangkan.
Kebiasan-kebiasaan tersebut masih sering dilakukan meskipun dalam
pelaksanaannya telah mengalami perubahan, namun nilai-nilai dan makna masih
tetap terpelihara dalam setiap upacara tersebut.
Ada dua tahap dalam proses pelaksanaan upacara
perkawinan masyarakat Bugis Bone yaitu, tahap sebelum dan sesudah akad
perkawinan. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya, masyarakat Bugis
Bone khususnya menganggap bahwa upacara perkawinan merupakan sesuatu hal yang
sangat sakral, artinya mengandung nilai-nilai yang suci.
Terdapat bagian-bagian tertentu pada
rangkaian upacara tersebut yang bersifat tradisional. Dalam sebuah pantun
Bugis (elong) dikatakan : Iyyana kuala sappo unganna panasae na belo
kalukue. Yang artinya Kuambil sebagai pagar diri dari rumah tangga ialah
kejujuran dan kesucian. Dalam kalimat tersebut terkadung arti yang sangat
penting dalam menjalankan suatu perkawinan.
2. kegiatan-kegiatan yang meliputi.
1. Mattiro (menjadi tamu)
Merupakan suatu proses dalam penyelenggaraan
perkawinan. Mattiro artinya melihat dan memantau dari jauh atau Mabbaja
laleng (membuka jalan). Maksudnya calon mempelai laki-laki melihat calon
mempelai perempuan dengan cara bertamu dirumah calon mempelai perempuan,
apabila dianggap layak, maka akan dilakukan langkah selanjutnya.
2.Mapessek-pessek (mencari informasi)
Saat sekarang
ini, tidak terlalu banyak melakukan mapessek-pessek karena mayoritas
calon telah ditentukan oleh orang tua mempelai laki-laki yang sudah betul-betul
dikenal. Ataupun calon
mempelai
perempuan telah dikenal akrab oleh calon mempelai laki-laki.
3. Mammanuk-manuk (mencari calon)
Biasanya orang
yang datang mammanuk-manuk adalah orang yang datang
mapessek-pessek supaya lebih mudah menghubungkan pembicaraan yang pertama dan
kedua. Berdasarkan pembicaraan antara pammanuk-manuk dengan orang tua si
perempuan, maka orang tua tersebut berjanji akan memberi tahukan kepada
keluarga dari pihak laki-laki untuk datang kembali sesuai dengan waktu yang
ditentukan. Jika kemudian terjadi kesepakatan maka ditentukanlah waktu madduta
Mallino (duta resmi).
B. Upacara Sebelum Akad Perkawinan
Sejak tercapainya kata sepakat, maka kedua belah
pihak keluarga sudah dalam kesibukan. Makin tinggi status sosial dari keluarga
yang akan mengadakan pesta perkawinan itu lebih lama juga dalam persiapan.
Untuk pelaksanan perkawinan dilakukan dengan menyampaikan kepada seluruk sanak
keluarga dan rekan-rekan. Hal ini dilakukan oleh beberapa orang wanita dengan
menggunakan pakaian adat.
Perawatan dan perhatian akan diberikan kepada
calon pengantin . biasanya tiga malam berturut-turt sebelum hari pernikahan
calon pengantin Mappasau (mandi uap), calon pengantin memakai
bedak hitam yang terbuat dari beras ketan yang digoreng samapai hangus yang
dicampur dengan asam jawa dan jeruk nipis. Setelah acara Mappasau, calon
pengantin dirias untuk upacara Mappacci atau Tudang Penni.
Mappaccing berasal dari kata Paccing yang berati
bersih. Mappaccing artinya membersihkan diri. Upacara ini secara
simbolik menggunakan daun Pacci (pacar). Karena acara ini dilaksanakan
pada malam hari maka dalam bahasa Bugis disebut ”Wenni Mappacci”.
Melaksanakan upacar Mappaci akad nikah
berarti calon mempelai telah siap dengan hati yang suci bersih serta ikhlas
untuk memasuki alam rumah tangga, dengan membersihkan segalanya, termasuk : Mappaccing
Ati (bersih hati) , Mappaccing Nawa-nawa (bersih fikiran), Mappaccing
Pangkaukeng (bersih/baik tingkah laku /perbuatan), Mappaccing Ateka (bersih
itikat).
1
B. PERAN MANUSIA DALAM MELESTARIKAN KEBUDAYAAN
KERANGKA
KEBUDAYAAN
Jika kita perhadapkan kebudayaan Bugis
dengan semangat kebangsaan kita, dapat kita katakan bahwa ke-bhineka-an itu
kurang diapresiasi. Malah yang diutamakan adalah semangat ke-tunggal ika-an.
Ini tercermin pada penyeragaman pola pikir pada zaman Orde Baru.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa etnis
mayoritas mendapatkan privilese – privelese dalam berbagai bentuk, sementara
etnis yang tidak memiliki back up mengalami marginalisasi.
Disinilah letak kekeliruan yang
dilakukan rezim Orde Baru dalam rangka membangun kepribadian dan kebudayaan
bangsa melalui berbagai jalur, Sementara pada aspek bahasa, pemberlakuan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pemersatu, walau satu sisi telah memudahkan komunikasi
antar anak bangsa, ternyata disisi lain justru menjadikan sekitar 500-an bahasa
daerah dinusantara termarjinalisasi
Parahnya,
media justru memunculkan bahasa Indonesia yang tidak baku dialek Jakarta
sebagai standarisasi bahasa gaul anak muda. Akibatnya, generasi muda kurang
mengenal bahasa daerahnya. Konsekwensinya adalah bahasa daerah terancam punah.
Dari aspek bahasa saja, kita telah mendapat sinyal untuk segera bereaksi
terhadap fenomena ini. Bagaimana jika kita tinjau aspek lain dari kebudayaan.
Maka hal ini, menjadi niscaya bagi kita saat ini untuk merevitalisasi
kebudayaan kita dengan berdasar konsepsi kesejarahan dan konteks kekinian agar
generasi muda Bone tidak kehilangan identitas dan mampu duduk sejajar dalam
kerangka kebangsaan. Serta, menjadi warga dunia yang siap dengan perkembangan
zaman tapi memiliki semangat sebagai Bugis Bone dalam kerangka multikulturalisme
dan demokrasi
Namun
persoalan besar bagi kita semua adalah bagaimana membangun antara identitas
kedaerahan dan kebugisan sehingga tidak menciptakan arogansi kedaerahan atau
kesukuan yang justru dapat memunculkan terjadinya konflik. Tapi disisi lain
bukan atas dasar nasionalisme yang kaku
sehingga budaya bugis khususnya Bone justru terlupakan. Padahal pada kebudayaan
Indonesia tersusun dari ratusan suku dan
budaya termasuk Bugis khususnya Bone.
Untuk
merealisasikan gagasan tersebut, tentu harus mengembangkan metode yang tepat
dan melibatkan segenap pihak yang terkait dan bergerak secara sinergis. Dengan
adanya keterbukaan di era reformasi ini, membuka peluang bagi kita semua untuk
mengangkat kembali “harta karun” manusia Bugis yang terpendam dalam naskah
klasik yang terlalu disakralkan sehingga tak terbaca, untuk muncul kepermukaan
agar dapat ditransformasikan pada generasi selanjutnya.
PENTINGNYA
PEMBANGUNAN DISEKTOR PENDIDIKAN
Pendidikan
untuk memanusiakan manusia secara filosofis dan mencerdaskan kehidupan bangsa
secara normatif. Sebagai sebuah proses, tentu tidak dilihat hasilnya dalam
waktu singkat. Pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi sebuah bangsa.
Berhasil tidaknya proses pendidikan akan mempengaruhi martabat bangsa dimata
bangsa lainnya.
Sebelum reformasi, pendidikan kita adalah proses penyeragaman cara berpikir.
Misalnya dalam pendidikan bahasa Indonesia, dari Sabang sampai Merauke memulai
dengan ini budi. Padahal ada banyak tokoh lain yang bisa diangkat. Misalnya Ini
Ucok, Ini Baco, Ini Ujang, Ini Denias dan sebagainya.
Pelajaran
bahasa dan sastra pun itu-itu saja. Seolah-olah tidak ada sastra dari
kebudayaan lain. Padahal, Indonesia ini dibentuk 500-an suku yang memiliki
tradisi sastra tersendiri.
Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan selalu menggunakan peristilahan yang
berbahasa sangsekerta. Padahal, bahasa sangsekerta murninya dari India, bukan
bahasa asli Indonesia. Kalaupun ada bahasa yang berasal dari salah satu suku di
Indonesia, kita tidak akan menemukan kata siri na pesse’, pela gandong dan
kearifan lainnya. Seolah-olah nilai dasar kebangsaan kita dibentuk dari
kearifan satu suku saja.
Dalam pelajaran sejarah, petikan tentang sejarah Sulawesi hanya sekilas
mengulas perang Makassar yang menokohkan peran protagonis kepada Sultan
Hasanuddin dan peran antagonis kepada Arung Palakka. Sementara, kita harus
menghapal raja-raja Singasari, Majapahit, Demak, Mataram dan sebagainya.
Bahkan, pelajaran sejarah hanya mengulas pergerakan kemerdekaan di Jawa
seolah-olah tidak ada orang luar Jawa yang berperang disana. Dan parahnya,
sejarah pasca kemerdekaan adalah sejarah pemberontakan rakyat Aceh (DI-TII Daud
Berueh), Sunda (DI-TII Kartosuwiryo), Banjar (DI-TII Ibnu Hajar), Sulawesi Selatan
(DI-TII Kahar Muzakkar, Kapten Andi Azis), Sulawesi Utara (PRRI-Permesta),
Ambon (RMS). Hanya PKI saja di Jakarta. Coba kita bandingkan peristiwa 10
November di Surabaya yang menjadi peringatan hari Pahlawan. Atau Serangan
Oemoem 1 Maret di Jogja. R. A. Kartini, seorang bangsawan jepara, hanya
mengirim surat kepada Belanda, malah dianggap pahlawan nasional dan hari
lahirnya dijadikan hari perempuan Indonesia. Ini sungguh tidak sebanding dengan
keringat dan darah Cut Nya Dien atau Laksamana Malahayati yang sekedar dianggap
sebagai pahlawan biasa.
Belum
lagi klaim bahwa Nusantara pernah bersatu dibawah Sriwijaya dan Majapahit.
Padahal sepanjang pengetahuan penulis, ini adalah klaim sepihak yang kebenaran
sejarahnya belum dikonfirmasi pada daerah yang konon ditaklukkan Gajah Mada.
Hal ini menjadi sebuah tanda akan superioritas satu suku dengan suku lain.
Kita
bersyukur, tumbangnya rezim Orde Baru 1998 membawa berkah di sektor pendidikan.
Materi dan metode pengajaran untuk anak didik lebih cerdas. Bahkan, dengan
adanya Kurikulum Muatan Lokal, peluang anak bangsa yang jauh dari pusat
kekuasaan, dapat mengelola sendiri bahan pengajarannya. Sehingga menjadi
peluang untuk proses transformasi nilai-nilai kebudayaan khususnya Bugis Bone.
TAWARAN
METODE
Agar
revitalisasi kebudayaan dan kesejarahan dapat bersinergi dengan sector pendidikan
maka perlu dibuat metode. Adapun tawaran kami sebagai berikut.
a. pembentukan tim
Tim
dibentuk dari berbagai pihak antara lain, pihak pemerintah daerah melalui Dinas
Pendidikan, Dinas Pemuda Olahraga Seni dan Budaya, Sekolah dan Komite Sekolah
yang terkait. Kemudian pihak tokoh adat dan tokoh masyarakat Bone, serta pihak
Lembaga Kebudayaan dan LSM. Pembentukan tim ini kemudian ditindak lanjuti dengan
pembagian job description, penetapan skedul dan sebagainya.
b. riset
Dari
skedul dan pembagian job description yang ditetapkan sebelumnya, tim melakukan
pengumpulan data dan menganalisis data. Pada tahap ini, dilakukan penelitian
akurasi (validitas) data dan efek-efek yang mungkin ditimbulkan. Diusahakan
agar ada transformasi nilai dari data tersebut sesuai dengan kepentingan
pendidikan.
C.
Penyusunan Bahasa
Setelah
melewati proses seleksi bahan ajar (berdasar muatannya kepada tingkat
pendidikan peserta didik) maka disusun silabus dan buku sebagai acuan berikut
tujuan instruksional dari tiap materi pengajaran. Dan yang tak kalah penting
adalah penyesuaian materi dan metode dengan standar pendidikan yang berlaku.
d.
Sosialisasi dan Penerapan
Pemerintah
Daerah melalui Dinas Pendidikan Kabupaten Bone bekerja sama dengan pihak
Sekolah menetapkan Mata Pelajaran “Sejarah dan Kebudayaan Bugis Bone” dari
tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi dan melakukan pelatihan
kepada guru dan dosen. Pelatihan ini dimaksudkan agar tenaga pengajar lebih
mampu menguasai materi dan mentransformasikan pada peserta didiknya.
2. mengatasi tawuran dan mahasiswa
Media masa berkali-kali memberitakan kasus tawuran
yang terjadi di kalangan pelajar. generasi muda yang sangat energik melampiaskan
dirinya dengan tindakan anarkis
Rasa
sedih di dalam hati saya semakin bertambah tatkala melihat tawuran juga terjadi
di kalangan mahasiswa yang notabenya termasuk kalangan terdidik di bangku
perguruan tinggi yang kelak akan menjadi sarjana. Inikah potret buram
generasi muda Indonesia? Inikah hasil proses pendidikan yang selama ini kita
kerjakan? Inikah potret karakter anak-anak muda Indonesia? Inikah potret negara
Indonesian yang berprinsip Pancasila? Inikah perilaku makluk yang ber-Tuhan?
Hal
yang selalu merasuki pikiran saya adalah mengapa generasi muda sangat mudah
tersulut dengan tawuran? Dari laporan media masa, saya mencermati jika tawuran
terjadi para pelajar dan mahasiswa bertindak jauh dari kesan sebagai insan yang
terdidik. Lihat saja dengan membabi buta mereka membuat kerusakan properti
orang dan fasilitas publik yang jelas-jelas tidak bersalah. Dengan bermuka
garang mereka membawa senjata tajam berupa samurai, pedang, balok, besi dan
masih banyak lainnya yang siap untuk menghabisi nyawa lawannya. Sungguh
tindakan anarkis ini tidak layak dilakukan oleh manusia yang beradab.
Dari fakta kejamnya tawuran, rasanya pemerintah dan
masyarakat perlu mengambil tindakan serius. Tawuran yang terus terjadi saat ini
harus mendapatkan perhatian serius. Kita tidak bisa membiarkan ini terus
terjadi lantaran tawuran tidak terjadi di sekitar kita. Kita harus ingat jika
kita tidak akan pernah tahu kapan dan di mana tawuran akan terjadi. Kita tidak
akan pernah tahu apakah kita akan terjebak dengan tawuran atau tidak. Kita
tidak akan pernah tahu apakah ada anggota keluarga kita, kolega, teman dan
sahabat kita menjadi korban tawuran atau tidak. Intinya, tawuran merusak
sendi-sendi kedamaian dan ketentraman hidup.
Contoh
kasus
Tawuran
Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia( umi ) makassar
Pada tanggal 20 september 2012Mahasiswa Universitas
Muslim Indonesia (UMI), Makassar kembali terlibat tawuran. Dalam peristiwa
tersebut, seorang mahasiswa teknik elektro, Ibrahim alias Ibe angkatan 2008
tewas setelah dirawat di RS Ibnu Sina karena menderita luka tusukan di perut.
Menurut
informasi yang dihimpun di sekitar lokasi kejadian, tawuran ini terjadi dipicu
persoalan sepele. Dimana seorang mahasiswa Fakultas Mesin UMI angkatan 2010
ditegur oleh seniornya dan dipukul. Tak terima perlakuan tersebut, ia pun
menyampaikan kepada kerabatnya yang kuliah di fakultas teknik sipil. Mereka
lalu melakukan aksi balasan dengan menyerang fakultas teknik mesin.
Tawuran pun tak terhindarkan hingga kaca-kaca gedung
di UMI pecah. Dari kejadian tersebut, korban yang ikut dalam penyerangan ke
fakultas teknik mesin terkena tikaman di bagian parutnya. Selanjutnya, korban
dilarikan ke RS Ibnu Sina yang terletak di depan kampus UMI. Saat mendapat
pertolongan tim medis, korban menghembuskan nafas terakhirnya.
Rekan-rekan korban yang berada di RS Ibnu Sina
langsung berhamburan kembali melakukan penyerangan. Beruntung, aksi ratusan
rekan korban yang hendak membalaskan dendam terhadap mahasiswa fakultas teknik
mesih itu berhasil dihalau aparat kepolisian yang masih melakukan pengamanan Jenazah
korban rencananya dibawa langsung ke kampung halamannya di Kabupaten Palopo
untuk disemayamkan di rumah duka dan diserahkan ke orang tuanya. Sebelumnya,
puluhan aparat kepolisian dari Polsekta Panakukang yang melakukan penyisiran di
setiap ruang di gedung Fakultas Teknik dan berhasil menyita berbagai senjata
tajam jenis parang, celurit, badik, anak panah.
Tanggapan
dan saran:
Menurut
pendapat saya. Arogansi mahasiswa berdasarkan fakultas, suku, sosialita yang di
banggakan turun temurun. Disini system seniortitas masih dipakai .Pola pikir
mahasiswa yang masih kedaerahan adalah
salah satu pemicu terjadinya tawuran, disamping mental dan
karakter, serta lingkungan yang mempengaruhi mahasiswa yang semakin anarkis. Peran
pendidik formal, para orang tua, tokoh agama dan aparat pemerintah. Sudah
saatnya secara berkala dilakukan rembugan serius di antara empat elemen
tersebut, yang kalau perlu juga melibatkan langsung perwakilan para
siswa/mahasisiwa
Dan
di saat lain, secara terpisah masing-masing elemen tersebut harus melakukan
kewajibannya dengan tetap sabar dan bersungguh-sungguh.
hemat
saya para siswa di zaman sekarang ini, perlu mendapat pelatihan khusus secara
bekala mengenai olah batin dalam rangka mengendalikan emosi dan menyalurkannya
ke hal-hal yang produktif. Seperti apa bentuk dan tehnis pelaksanaannya, bisa
difikirkan kemudian.