Terapi client centered
Seseorang akan menghadapi persoalan jika diantara
unsur-unsur dalam gambaran terhadap diri sendiri timbul konflik dan
pertentangan, lebih-lebih antara siapa saya ini sebenarnya (real self) dan saya
seharusnya menjadi orang yang bagaimana (ideal self). Berbagai pengalaman hidup
menyadarkan orang akan keadaan dirinya yang tidak selaras itu, kalau
keseluruhan pengalaman nyata itu sungguh diakui dan tidak di sangkal.
Contoh kasusnya
Pada
terapi client centered ini seseorang remaja yang mengalami ketidakpercayaan
diri yang diakibatkan oleh pengalaman yang tidak menyenangkan dimasa kecilnya. Remaja
tersebut merasa jika dia berhadapan dengan orang lain merasa tidak berharga dan
merasa gugup sampai-sampai remaja tersebut kesulitan dalam berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya karena dia kurang percaya diri. Menyadari hal tersebut
remaja ini merasa sampai kapan hidupnya seperti ini terus. Akhirnya dia datang
untuk terapi ke konselor, dia menceritakan apa masalah yang dihadapinya. Sang konselor
pun menunjukan rasa empatinya terhadap kliennya, tetapi konselor tersebut
berusaha agar kliennya itu untuk tidak bergantung dengan terapisnya tetapi
terapis meyakini bahwa kliennya tersebut dapat menyelesaikan masalahnya itu
sendiri dan dapat percaya diri dihadapan orang lain. Dan remaja tersebut mau
mendengarkan apa yang diucapkan oleh terapis tersebut sampai akhirnya remaja
tersebut menemukan kepercayaan dirinya kembali.
Pada proses terapinya, klien menjadi pusat dari terapi ini
di mana terapis lebih membiarkan klien menemukan jalan keluarnya sendiri. Jadi
remaja ini di buat mengerti dan paham akan masalah yang sedang dihadapinya dan
terapis tidak memaksakan klien untuk menceritakan masalahnya bila klien sedang
tidak ingin menceritakannya, klien hanya memberikan pandangan tentang masalah
yang sedang dihadapinya sedangkan pilihan dan prosesnya klien yang
menentukannya.